Mungkin banyak
orang akan bingung serta penasaran, bila disuruh memilih pemenang dari duel sesama predator berbahaya
ini. Apakah komodo dengan gigitannya yang mengandung racun mematikan??Atau
malah buaya dengan kekuatan rahang serta giginya yang mampu melumat tubuh
mangsanya dengan cepat?!
Saya sendiri
akan sangat sulit menentukan pilihan antara komodo dan buaya. Kenapa? Karena
memang keduanya hewan yang sama-sama kuat di habitat alaminya. Tapi,kalau
memang dipaksa untuk memilih, atau andaikan saja kepala saya ditodong pistol
hanya untuk menjawab pemenang dari pertarungan fiktif ini. Saya akan menjawab “
Komodo”. Kenapa komodo?! Karena komodo satwa asli Indonesia dan juga karena komodo
termasuk satwa yang harus dilindungi. Sedangkan buaya?! Saya sangat menyukai buaya, tetapi manakala kulitnya
sudah diolah menjadi dompet atau tas.Lho?! Kok begitu?! Ya memang begitu..
Sudahlah, kita
hentikan pembahasan tentang kulit buaya. Di sini saya mengibaratkan Komodo vs
Buaya, seperti halnya KPK vs POLRI. Lho?! Kenapa tidak cicak vs buaya jilid 2,
jilid 3, jilid 4, dan seterusnya… Atau mungkin biawak vs buaya, karena untuk
dibuat judul artikel sepertinya lebih menjual dan menarik. Tapi kenapa akhirnya
saya pilih komodo sebagai perumpamaan KPK?? Gampang saja, karena KPK itu memang
seperti komodo. KPK dan komodo sama-sama asli Indonesia. Bedanya, komodo itu
hewan, sedangkan KPK adalah Lembaga Penegak Hukum. KPK dan komodo harus
sama-sama kita lindungi. Komodo kita lindungi dari kepunahan, sedangkan KPK kita
lindungi dari tangan-tangan koruptor yang mencoba untuk melemahkannya. Masak
KPK, Lembaga Hukum yang kita agung-agungkan untuk memerangi korupsi di Negeri
ini kita ibaratkan seperti “Cicak”. Hewan kecil, kurus, kering, tak berdaya, berwajah
melas kalau diinjak sekali langsung mati. Kalaupun tidak mati, dia akan
memutuskan ekornya lalu lari bersembunyi. Apakah image lemah seperti itu yang
akan selalu kita tanamkan pada KPK?!Sehingga pada akhirnya buaya-buaya yang
merasa jauh lebih kuat, akan terus menekan lalu membinasakannya. Tidak!! KPK
sekarang harus kuat. Sekuat apa?? Sekuat “Komodo”
Belum hilang
dari ingatan kita akan kasus kriminalisasi POLRI pada dua pimpinan terpilih KPK
( Bibit dan Chandra ) pada tahun 2009. Sekarang ibarat luka yang belum kering,
malah ditetesi air garam, ditambah cuka, dioles saos sedikit, lalu diaduk
sampai rata. Tidak bisa dibayangkan luka itu jadinya seperti apa. Seperti
halnya konflik ini yang semakin ruwet. Berawal dari penetapan Bapak Irjen Djoko
Susilo yang terhormat serta beberapa jajarannya di POLRI sebagai tersangka kasus dugaan korupi proyek
simulator SIM 2011 oleh KPK. Karena juga, merasa memiliki kewenangan, POLRI pun
tidak mau kalah dengan KPK dengan “ikut-ikutan” menangani kasus ini. Tentu
dengan caranya POLRI sendiri alias tidak mau menyerahkannya ke KPK. Sampai
akhirnya terjadi tarik-menarik, siapa yang sebenarnya akan mengurusi kasus
simulator SIM ini. Belum selesai satu kasus, kalau boleh saya bilang “ POLRI
memperkeruh suasana ”. Bagaimana tidak memperkeruh suasana, di saat KPK
memerlukan penyidik untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi yang sedang
diusutnya. POLRI malahan menyurati KPK, yang isinya POLRI akan menarik 20
penyidik dari Mabes Polri yang bertugas di KPK, dengan alasan masa tugas di KPK
sudah habis dan akan diganti dengan penyidik-penyidik yang baru. Kontan saja
Bapak Abraham Samad menolak dengan tegas permintaan POLRI tersebut, dengan
alasan penarikan itu akan menghambat penyelesaian kasus di KPK. Saya setuju
dengan pernyataan Pak Abraham Samad, sebab penyidik tidak ditarik saja kasus
korupsi banyak yang belum selesai, apalagi sampai benar-benar ditarik. Sampai
tahun 4012 atau menunggu sampai kambing beranak lewat mulut kasus korupsi di Indonesia
tidak akan pernah bisa bersih mengkilat.
Dan puncak dari
kekisruhan ini, ketika puluhan polisi berseragam lengkap dan berpakaian preman
menyerbu gedung KPK, yang katanya hendak menangkap seorang penyidik bernama
Novel Baswedan berpangkat Komisaris Polisi ( Kompol ) atas keterlibatannya
dalam kasus pembunuhan pencuri sarang burung walet saat ia masih menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Bengkulu dengan
pangkat Iptu, pada Februari 2004 ( saya tegaskan lagi, Februari tahun dua
ribuuuu empaaat!!!alias delaaapaaann tahun silam!!! ). Karena saya memang orang
yang tidak begitu mudeng hukum, jadi
saya tidak tahu menahu masa expired
sebuah perkara. Tapi dengan adanya kasus Novel Baswedan ini saya jadi senang,
riang, dan gembira karena dengan demikian hanya berselisih 6 tahun, tragedi
kemanusiaan 1998 yang juga dilakukan oleh aparat kepolisian yang menewaskan
puluhan jiwa mahasiswa harusnya juga belum kadaluwarsa. Toh,yang 2004 saja
bisa, masak yang 98 tidak bisa. Tapi kenapa sampai sekarang tidak pernah diusut
tuntas?? Apa karena oknum aparat yang terlibat dalam tragedi 98 belum jadi
penyidik KPK, jadi belum saatnya untuk ditangkap. Dan dibiarkan hidup bebas di
luar sana. Dan
karena Kompol Novel Baswedan sudah menjadi penyidik KPK dan mulai mengancam
stabilitas kenyamanan Jenderal-Jenderal POLRI, maka halal hukumnya dia untuk
ditangkap. Kalau begitu hukumnya, maka kita harus berharap oknum aparat yang
pernah bersalah di masa lalunya, harus terlebih dahulu jadi penyidik KPK agar
POLRI bisa semangat untuk menangkapnya,
sehingga terlahirlah Novel-Novel yang lain. Semakin ke sini, saya jadi geli
campur miris melihat konflik
berkepanjangan ini. Kasihan ya…Siapa yang Kasihan?? “Komodonya” kasihan..
Dan yang
ditunggu-tunggu dengan H2c ( harap-harap cemas ) akan tindakannya untuk
menengahi konflik “ Komodo vs Buaya “ ini akhirnya keluar kandang. Yang
terhormat Bapak Presiden kita Susilo Bambang Yudoyono akhirnya buka suara, dan
menelurkan lima
poin penting dalam pidatonya. Yang tentunya sudah banyak yang tahu , bahkan
mungkin sudah ada yang bosan, karena terlalu seringnya mendengar atau melihat
diputar berulang-ulang di berbagai media. Jadi tidak perlu lagi, saya jabarkan
isi pidatonya di sini. Yang pasti, saya berharap semoga saja dengan adanya
solusi dari Bapak SBY tercinta, konflik “Komodo vs Buaya“ ini bisa segera teratasi
dan kasus korupsi di Indonesia yang kata banyak orang sudah mengakar, bisa
benar-benar dicabut dari akarnya. Dan setelah KPK dan POLRI berdamai, supaya
kita renungkan bersama bahwa musuh KPK dan kita sebenarnya adalah pelaku
KORUPSI bukan KORPS POLRI.
Saya katakan
juga di sini, karena sebenarnya se-skeptis apapun penilaian saya terhadap POLRI, tetap dalam
hati kecil saya berharap banyak pada POLRI untuk benar-benar bisa menegakkan
keadilan di Bumi Pertiwi ini. Maka dari itu Bapak-Bapak Polisi, acuhkan saja
kesinisan saya, bekerjalah saja dengan lurus dan berani. Buat saya malu hati
karena sudah menilai salah pada Bapak-Bapak Polisi yang terhormat. Buatlah saya
supaya meminta maaf kepada Bapak-Bapak sekalian karena telah meragukan
kredibilitas Bapak-Bapak. Saya akan sangat legowo
untuk meminta maaf kalau perlu bersimpuh di hadapan Bapak-Bapak Polisi kalau
terbukti Bapak memang bekerja dengan bersih dan berpihak pada rakyat!!
Dan semoga “Komodo
vs Buaya” hanya ada dalam khayalan liar saya saja, karena kasihan tukang samak
kulit buayanya. Harus lemas bin gemetar menunggu duel yang tidak
selesai-selesai
Tak jelas
ReplyDelete