KurMa ( KoURupsi MAksiat )



Tahun 3035, pagi hari, di sebuah rumah, seorang Ibu menyuruh anaknya bernama Sarno untuk berbelanja daging di pasar. Diberikannya selembar uang kertas seratus ribuan beserta kertas berisi daftar belanjaan pada Sarno. Selang beberapa menit kemudian, bergegaslah Sarno menuju kandang robot kuda miliknya ( sekadar informasi, pada masa ini penggunaan motor atau mobil berbahan bakar minyak untuk transportasi sudah sangat jarang terlihat, digantikan oleh tenaga robot atau sepeda, dengan alasan BBM sudah tak terbeli lagi ). Segera ditungganginya Kudaemon ( nama si robot kuda ) menuju pasar daging. Sesampainya di pasar, lalu memarkirkan Kudaemon di parkiran robot, Sarno pun berbelanja dengan santai. Setelah hampir satu jam berkeliling di pasar, dan dirasa pesanan dari ibunya sudah terbeli semua, Sarno sadar ternyata masih ada sisa uang di kantongnya sebesar Rp.25.000,- . Sarno melihat lagi daftar belanja yang dibuat oleh Ibunya, takut-takut ada yang kelupaan tidak terbeli olehnya. Karena ini bukan untuk kali pertama Sarno disuruh untuk belanja oleh Ibunya, jadi dia heran kok bisa masih ada sisa, karena Ibunya biasa memberi uang mepet bin ngepas. Sarno tidak mau ambil pusing, pikir dia anggap saja ganti uang lelah atau uang untung karena membantu Ibu. Kan kata orang Surga di bawah telapak kaki Ibu, jadi uang kembalian Ibu pun hampir pasti juga  terkontaminasi aroma Surga. Sehingga halal hukumnya untuk diakui itu haknya. Celakanya, sesampainya dia di rumah dan ibu menanyakan apakah ada kembalian, Sarno dengan secepat kilat mengelak bahkan mengatakan kalau dia tombok. Entah, uang itu sekarang masih beraroma Surga atau memang sedari tadi bau tengik bekas dipegang-pegang oleh para penjual daging.
Dari sepenggal cerita tidak beres di atas, apakah Sarno merasa bersalah dan sadar baru saja melakukan tindak korupsi kelas bulu?? Tentu saja tidak. Karena dia merasa apa yang dilakukannya tidak salah dan uang itu adalah uang lelah, lagipula itu uang Ibunya sendiri. Bukan uang Pak RT, Pak RW, tukang daging, apalagi uang korupsi..
Seperti itulah wajah para pelaku KORUPSI ( bukan KORPS POLRI, lho ) alias para KORUPTOR di negeri ini. Bagaimana bisa para koruptor itu mengakui kesalahan serta mengakui apa yang telah dikorupsinya, kalau selama ini mereka merasa tidak pernah melakukan hal yang salah. Mereka tidak pernah merasa korupsi, alias mengambil uang negara alias uang rakyat alias uang maksiat. Bagi mereka itu uang lelah, itu uang untung, bukan uang korupsi. Menjadi anggota dewan kan capek, jadi Jenderal kan pegel jadi wajar dapat uang lelah. Jadi saya memaklumi sikap para koruptor  terhormat, yang selalu mengelak atau bahkan mangkir saat dipanggil KPK. Lha wong merasa tidak salah…
Kembali ke kisah Si Sarno, mungkin sedikit berlebihan bila saya katakan, apa yang telah dilakukan Sarno termasuk bibit korupsi sejak dini. Masak perkara sepele “uang belanja daging” seperti itu dikatakan korupsi. “Ada-ada saja saya ini..”. Tapi, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa banyak perkara korupsi besar di Negeri ini awalnya juga dari hal-hal sepele. Contohnya apa,  kok bisa korupsi dari hal-hal sepele?? Misalnya saja, dari olahraga bisa terlahir korupsi gede-gedean. Semua orang tahu, tujuan awal dari semua cabang olahraga apapun kan cuma satu, “supaya sehat”. Tapi oleh orang-orang yang “pintar” itu, tujuan awal itu dimodifikasi menjadi lebih variatif. Karena tahu olahraga itu perlu atlet, dan atlet perlu wisma, maka dijadikanlah proyek wisma atlet sebagai proyek mencari “uang lelah” alias lahan “bancaan” bagi mereka. Itu satu contoh hal sepele yang dijadikan lahan korupsi, dan sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Yang kalau saya jabarkan di sini, buku Harry Potter karangan J.K Rowling mungkin kalah tebalnya.
Apa karena mereka memang benar-benar tidak sadar ( tidak sadar kok terusan ) yang mereka lakukan itu korupsi, sehingga mengambil yang bukan haknya jadi hal yang biasa alias lumrah bagi mereka. Apa karena korupsi benar-benar jadi budaya di negara kita, yang sudah diresmikan oleh UNESCO mengalahkan budaya kesenian Wayang Kulit. Mungkin, sampai ada ungkapan “Gak Korupsi Gak Gaul” atau  “ Loe Korupsi, trus gue bilang WOW.. gitu” dan jadi jargon iklan sebuah produk kecantikan “ Kulit cantikmu semakin memancar, karena sudah Korupsi “. Maka celakalah Negeri yang katanya Gemah Ripah Loh Jenawi ini, sampai tahun 3035 ( masa di mana Sarno hidup ) alias 1023 tahun dari sekarang, korupsi masih jadi mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Menurut saya, karena mereka ini orang-orang pintar ( tanpa tanda kutip ), seharusnya mereka tahu kalau sedang berkorupsi Tetapi, karena korupsi belum dianggap sebagai perbuatan maksiat malah dianggap sebagai perbuatan terhormat oleh para pelakunya. Sehingga membuat mereka dengan semangat dan senang hati, bahkan berlomba-lomba untuk melakukannya. Belum disejajarkannya korupsi dengan perbuatan-perbuatan hina bin maksiat lainnya, juga turut mempengaruhi  korupsi bisa tumbuh subur di Negeri ini. Saya mengkhayal, andai saja tingkat “ kemaksiatan ” korupsi di Negeri ini bisa sejajar dengan kegiatan maksiat lainnya, seperti halnya prostitusi atau judi. Mungkin para koruptor ini jadi berpikir dua kali untuk mencobanya, karena kalau sampai ketahuan dia korupsi, tentu dia akan malu karena digolongkan seperti ( maaf ) PSK atau penjudi kelas rendahan. Kan sama-sama maksiatnya!!
 Saya jadi ingat sebuah tebak-tebakan, begini tebakannya : “ Apa bedanya maling ayam sama maling uang rakyat??” Kalau maling ayam tertangkap, terus ditanyai oleh wartawan atau polisi pasti dia akan mencoba bungkam seribu bahasa dan menutupi mukanya karena malu, tahu yang dia lakukan itu maksiat. Tapi, kalau maling uang rakyat tertangkap, jangankan malu menutupi mukanya, malahan dia dengan semangat berkicau pada media, ngomong kalau dia difitnah lah, juga menuding orang lain yang bersalah. Padahal kalau dihitung secara nominal,  tentunya harga ayam yang dicuri si pencuri ayam tidak sebanding dengan uang rakyat yang dicuri. Tapi kenapa si pencuri ayam masih bisa tahu malu, sedangkan para koruptor yang mengaku terhormat, setelah mencuri uang rakyat ratusan Miliar, untuk malu saja tidak, apalagi mengaku bersalah. Benar-benar sudah putuskah urat malu para penjarah uang rakyat ini?? Atau, lagi-lagi karena mereka tidak sadar maling uang rakyat itu maksiat!!
 Kurang diberlakukannya sanksi sosial pada para koruptor di lingkungan masyarakat, juga menjadi faktor penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Seperti yang kita ketahui, bahwa sampai saat ini, sanksi yang diberikan pada para koruptor masih berupa sanksi pidana dan sanksi materi. Mau diberi sanksi hukuman mati, nanti katanya pelanggaran HAM, jadi diharapkan sanksi sosial bisa menjadi alternatif pilihan untuk membuat jera para koruptor. Sanksi sosial yang saya maksudkan di sini, bisa berupa dikucilkannya para koruptor itu dari pergaulan masyarakat. Bisa juga seperti yang sudah saya tuliskan di atas, yaitu label koruptor disejajarkan dengan kegiatan-kegiatan maksiat yang lain, sehingga membuat orang malu untuk melakukannya atau bahkan jijik hanya karena mendengarnya. Atau mungkin sanksi sosial yang lebih ekstrim ( yang satu ini mungkin mustahil diterapkan di Negara ini, tapi tidak apa-apa, saya ungkapkan saja ), yaitu : Di dahinya di tatto tulisan yang cukup besar “ Saya Maling Uang Rakyat “ ( hehehe ) , tentu akan membuat semua orang bisa membaca tulisan itu, sehingga tahu bahwa dia koruptor dan akan  membuat mereka untuk mencaci serta menjauhi sang koruptor. Saya yakin kalau sanksi-sanksi sosial seperti itu, atau berupa sanksi-sanksi sosial yang lain, sudah diterapkan pada masyarakat kita, pastinya para koruptor itu akan jera dan tidak akan berani coba-coba untuk korupsi.  Karena, menurut saya lebih menyakitkan dan menderita  dikucilkan dari lingkungan sosial seumur hidup daripada hanya langusng dihukum mati atau kurungan penjara selama 2 tahun.
Ngomong-ngomong soal pemberantasan korupsi, dalam upaya penanggulangan dan pencegahan tindak korupsi juga tidak melulu hanya tugas KPK sendiri. Kita juga bisa turut ambil bagian sejak sekarang, berawal dari diri sendiri, biasakan tidak korupsi apapun sekecil apapun. Dalam keluarga, penanaman nilai moral dan agama pada anak sejak usia dini, bahwa tindak korupsi itu MAKSIAT juga sangat penting. Jadi ke depannya kita telah mengawal jalan bangsa ini terbebas dari lahirnya bibit-bibit korupsi, atau lahirnya Sarno-Sarno yang lain.
Kan, kalau kata Bang Napi begini : “ Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan “, begitu pula dengan korupsi, karena  melihat adanya kesempatan, maka terjadilah korupsi. Maka diharapkan dari adanya pendidikan moral sejak dini, dan adanya sanksi-sanksi sosial, walau adanya kesempatan begitu besar untuk berkorupsi, perilaku untuk mencoba korupsi bisa direm bahkan dihentikan. Karena tahu korupsi itu….Korupsi apa?? KORUPSI itu MAKSIAT!!!...
Harapan saya dan mungkin jadi harapan semua orang. Bahwa akan ada masa di mana di Negeri yang kita cintai ini, tidak ada lagi  yang namanya KPK. Bukan karena dibubarkan oleh DPR/MPR ataupun Presiden, atau bahkan diboikot rakyat karena kerjanya yang tidak becus. Tetapi karena KPK membubarkan diri dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa RUU yang melemahkan, dan yang pasti tanpa penyesalan dari jutaan rakyat Indonesia. Karena sudah tidak ada lagi kasus korupsi yang dapat ditangani KPK, barang kasus korupsi seribu perakpun sudah tidak ada di Negeri ini. “ Kalau tidak ada kasus korupsi, jadi apa guna KPK, daripada makan gaji buta, lebih baik membubarkan diri dengan terhormat “. Begitu  kira-kira pemikiran pemimpin KPK di masa itu.
Alangkah indahnya hidup di masa itu, masa di mana kesadaran tiap-tiap individu untuk tidak berkorupsi sangat tinggi, sehingga tidak perlu lagi ada yang mengawasi.. Saya yakin masa itu akan benar-benar datang bagi Indonesia, selama KPK benar-benar diperkuat, biarkan lembaga hukum ( KPK, POLRI, KEJAKSAAN ) di Negeri ini bekerja dengan lurus, tegas, dan adil. Dan pengusutan sampai tuntas, kasus-kasus korupsi besar yang belum terselesaikan.  Hukum para koruptor itu sampai benar-benar kapok, sehingga tidak ada lagi lahir koruptor-koruptor yang baru. Semoga untuk alinea yang ini, tidak hanya menjadi mimpi alias cuma khayalan saya di siang bolong. Masak Indonesia bisanya maksiat terus?!
Terakhir, saya sampaikan sekalian promosi. Kalau Band Wali punya lagu judulnya      “ Tomat “ ( Tobat Maksiat ), saya pun juga punya “ KURMA “ ( KoURupsi MAksiat ). Mungkin ada band atau pencipta lagu yang ingin menciptakan lagunya, silahkan saja saya tidak menolak ( ngarep...)
Sekali lagi, korupsi apa????...
KOURUPSI MAAKSIAAT!!!!........





Antonius Tri Mahargya
Semarang,15 Oktober 2012

Comments